Give Away Event "KUTU BUKU.KOM" (Karya Tulis Buat Kualitas Berkompetisi)

...........

Aku ingin bebas. Hanya kata itulah yang selalu terpikirkan olehku. Terbebas dari segala ikatan dan jeratan tentang segala tugasku di dunia ini. Hati ini tak malas, hati ini hanya lelah mengurusi semua hal yang seharusnya tidak penting ini. Otakku serasa rontok dan panas serasa seperti mau meledak, semua ini karena tugas-tugas yang menumpuk bagaikan gedung pencakar langit. Telinga ini sudah tak kuat lagi mendengar omongan-omongan busuk yang selalu saja terdengar dari luar ruanganku. Bahkan air mataku sudah terlalu kering sampai-sampai tak dapat membasahi bola mataku yang selalu terkena paparan cahaya komputer, handphoneiPad, dan laptop yang sering kugunakan tiap hari.

Ruangan yang memiliki dua AC yang luas tetapi terasa sempit akan tugas-tugasku ini, aku berusaha menenangkan diri serta pikiranku dengan membuka jendela. Tak lupa kumatikan kedua AC dan membuka jendela selebar-lebarnya. Dengan puas aku menghirup udara dengan aroma jalan raya yang khas. Disitu pikiranku mulai tenang dengan sendirinya. Cahaya lampu jalan raya sudah mulai menerangi sebagian jalan dengan warna warninya yang seakan-akan menghipnotisku. Di peralihan waktu antara siang malam ini aku merenung dan mulai berbicara pada diriku sendiri.

"Sampai dewi malam muncul dengan sinarnya, semua tugasku yang harusnya kuselesaikan hari ini akan menjadi sia-sia. Semua lelahku, pikiranku, tenagaku, waktuku terbuang hanya untuk mengerjakan tugas yang tidak berujung ini. Rasanya aku dikejar dan diburu tugasku yang harus kukerjakan besok. Perasaan ini tak akan berakhir selama apapun aku memohon."

Kertas-kertas yang menumpuk awalnya terlihat putih itu kini terlihat hitam ketika matahari sudah tak menyinarinya lagi. Semua akan sama seperti kemarin.

Waktunya untuk meninggalkan semua kertas-kertas yang terlihat berguna padahal tidak sama sekali. Perlahan-lahan tapi pasti aku mulai membereskan mejaku yang berantakan. Kuambil tas kecilku yang hanya berisi handphone-ku yang baru kudapatkan beberapa bulan lalu. Di situ aku merasa bangga tetapi semua itu kusesali sekarang. Mobil sedan hitam yang memantulkan cahaya lampu jalan karena baru dibersihkan tadi pagi itu menungguku dengan supir didalamnya. Aku lelah. Aku ingin move on.

Hampir 2 hari aku meninggalkan Surabaya, tanah kelahiranku. Sebenarnya Mama Papa tak mengizinkan apa yang aku lakukan. Namun aku harus lakukan itu. Semua orang akan bilang bahwa aku ini anak kurang waras, masalahnya keluargaku orang berpunya, terpandang, dan berpendidikan. Kehormatan, kekayaan, dan segala keinginan bisa didapatkan. Seminggu sekali Mama pulang. Mama keturunan bangsawan Aceh yang kaya raya. Papa pulang sebulan sekali. Hari-harinya dihabiskan di Timika, kota penghasil emas terbesar. Namun, aku tak merasa bahagia.

Mungkin karena segalanya bisa didapat dengan mudah itu membuat hidupku hampa. Segala bentuk kemewahan membuatku malas, bodoh, dan tak berdaya. Hidupku tak menarik, tak berwarna, bahkan hampa. Arya, putra sulung Pak Yopi sopir pribadi Papa, telah membuka hatiku akan kehidupan yang sebenarnya. Ibarat bumi dengan langit, itulah perbedaan kami.

“Arya, hampir seminggu aku di sini” ucap Andika.


“Andika, aku tidak keberatan kalau kau tinggal di sini. Aku malah senang. Aku bisa banyak belajar fotografi sama kamu” kata Arya sambil menepuk pundak Andika. “omong-omong, Aku salut sama putusanmu. Kau tanggalkan semua gelar kemewahan”

“Besok, apa boleh aku menemani kamu ke pesantren?” tanya Andika.

“Siaaap”

.........