Gusti Allah Iku Ora Turu (Based On Experience Story)


Kemarau panjang datang, Ramadhan menjemput. Segenap makhluk di muka bumi bangga dan siap menyambutnya meski terik matahari tak bisa dihindari. Aku manusia biasa. PHP yang begitu lama terkadang buat hati berontak, air mata mengalir tanpa permisi. Aku sadar bahwa semua yang terjadi adalah suratan ilahi. Hingga rasa kecewa dan harapan hanya aku rajut dalam doa.

Ramadhan lalu, 2014, tragedi itu terjadi, Agus keponakan yang dibanggakan telah memporak-porandakan semua rencana. Tak pernah terpikir kalau ini terjadi. Diantara kerabat-kerabat yang lain, Agus memang beda. Dia dekat sekali dengan keluarga, bahkan sering kami semobil dengannya. Ringan tangan serta peramah itu istimewanya. Jika kami membutuhkan, kami saling berbagi. Dia bukan orang lain, dia keponakan Mas Sam. Dia cakep dan pandai merangkai kata. Ya, itu jadi tuntutannya sebagai seorang pengacara. 

Tahun 2015, Ahsan yang biasa dipanggil Acan mengakhiri pendidikan SMA dan beralih ke perguruan tinggi. Biaya, menjadi kebutuhan pertama dan  utama. Acan, si bungsu tiga bulan yang lalu ikut tes masuk perguruan tinggi. Alhamdulillah, ia lolos. Selanjutnya, ada konfirmasi bahwa registrasi dan lain-lain dilaksanakan di akhir bulan ini. Acan sudah melengkapi segala persyaratan yang ada. Tinggal satu, pembayaran. Dana yang dipersiapkan kini tidak di tangan. Agus kunci utamanya.

Saat ini, kami dibuat panik. Betapa tidak, dana yang sudah dipersiapkan setahun sebelumnya itu ada di tangan Agus. Kami tak pernah nyangka kalau jadi seperti ini. Berbagai cara dilakukan. Menemui secara terang-terangan atau diam-diam telah dilakukan, tapi hasilnya nihil. Berkali-kali hubungi via telpon, tak pernah diangkat.

Panik dan pilu yang menyelimutiku terbaca oleh Ibu. Aku pun cerita apa adanya. Mengapa dia sampai hati melakukan hal seperti ini. Bukankah ibunya adalah kakak kandung Mas. Tapi, mereka angkat tangan bahkan menyalahkan kami, oh my god.

Ibu hanya diam mendengarnya.

Yo wes sing sabar, gusti allah iku ora turu” pesan Ibu.

Mendengar password Ibu, aku sedikit legah dan bisa mengendalikan emosi apalagi ini sudah sepuluh malam terakhir. Menangis dan meratap dalam doa menjadi irama di setiap malam. Ya allah, sungguh tiada daya bagi kami. Ya allah, sungguh tiada yang tak mungkin bagi-Mu. Bukakan kesulitan kami, tunaikan hajat kami. Ya allah, kuserahkan semuanya pada-Mu.

Keesokana harinya, tepat di deadline pembayaran, ayah didatangi seorang pemuda yang tak dikenal. Pemuda itu berasal dari Bandung. Dia utusan dari keluarga Bang Oman. Pemuda itu bilang bahwa Bang Oman telah meninggal tiga minggu yang lalu. Menurutnya, istri dan anaknya mimpi yang sama, yaitu almarhum suami/ ayahnya berpakaian putih berada di padang yang luas dan terik. Dia menangis dan minta tolong. Dia tidak mampu melangkah. Akhirnya, Sang ibu dan anak menanyakan hal ini pada seorang Ustaz. Sang Ustaz tanya balik, apakah selama hidup suaminya punya sangkut paut, utang dan sejenisnya kepada orang lain. Usut punya usut, akhirnya sang istri ingat. Maka diutuslah sang pemuda untuk menyampaikan amplop yang berisi sejumlah uang dan pesan, “Jika kurang mohon diikhlaskan. Terima kasih dan mohon maafkan kesalahan Pak Oman”.

Sungguh, itu jawaban dari allah. Benar kata Ibu. Dan, sungguh allah tak akan mengingkari janji. Apalagi, kami menjadi hamba terdzolimi seperti ini. Kami bernafas legah, karena satu masalah teratasi.

Hari ini ramadhan kelima, tausiyah pagi ini bukan hanya menyentuh tapi menyentil hati. Apa yang sampaikan itu refleksi dari perasaan. Aku merasa legah, ceramah itu datang dari allah. Tausiyah tersebut memberi banyak harapan. Doa dan sabar adalah kuncinya.

Ini malam kedua puluh lima. Sepuluh malam terakhir sudah diincar para hamba Allah. Selain untuk mendapatkan lailatul qodr juga untuk mendapatkan kenikmatan bertaqorrub. Itulah sebabnya sejak malam dua puluh satu bulan ramadhan, hamba allah melaksanakan i’tikaf dan shalat malam berjamaah di masjid.  Suasana tenang dan khusu’ yang tak akan ada selain ramadhan. Alhamdulillah, meski hanya bersama Mas Sam, aku belum dan inshaallah tak akan melewatkannya.

Rasanya legah. Selesai shalat tarawih nonton TV sama anak-anak. Tiba-tiba, telepon berdering.

“Halo, assalamualaikum, Sayang. Sudah tarowih?” tanya Mas Sam. Dia sedang piket jadi imam di masjid.

“Waalaikumussalam, Iya Mas. Ada apa?”

“Kamu sibuk? Bisa ke sini sebentar?”

“Ke mana?”

“Ke Mc’D depan kantor polisi. Penting. Bawa ATM juga. O iya, biar gak sendirian, Acan suruh nemani”

“Ok”

“Aku tunggu. Hati-hati, ya, assalamualaikum

Kami pun meluncur menuju Mc’D. Mas Sam berdiri di pintu masuk dan mengarahkanku ke halaman parkir dan berhenti di belakang mobil Yaris bernomor L1146DO. Kemudian, datanglah seorang lelaki mendekati kami.

“Gimana Ibu, berminat? Mau coba, silakan. Ini kuncinya” kata lelaki itu.

Aku menjawabnya dengan senyuman.

“Sebentar, Mas sahutku.

Kami mundur selangkah bersama suami.

“Mas, kenapa secepat ini. Uangnya masih belum cukup”

“Udah, yakinlah. Pasti bisa. Feelingku bagus. Aku yakin itu. Kalau Ok, ambil uang di ATM buat DP”

“Baiklah”

Tanpa pikir panjang, aku pun menyerahkan uang itu kepada Mas. Selanjutnya aku pulang dengan hati senang bercampur deg-degan. Sudah dua ramadhan ini, kami berharap dan bermunajat untuk segera dapar mobil pengganti dari allah. Sesampai di rumah, aku bersujud dan bermunajat. Ya allah, sungguh hanya engkau yang tahu. Uang yang dititipkan itu adalah uang mobil sebelumnya plus dana pendidikan. Kini, semua itu tak ada di genggaman. Tiga tahun lamanya hati ini hampa. Ya allah jika itu bukan takdirmu, kenapa Engkau tunjukkan pada hamba mobil itu. Ya allah, jika itu jawaban akan takdirmu, mudahkanlah kami untuk mendapatkannya.

Dengan cara yang tak pernah disangka-sangka, akhirnya mobil itu diamanahkan allah pada kami. Subhanallah, aku tak pernah punya angan-angan untuk memiliki mobil idaman. Ini benar-benar buah doa dan kesabaran yang telah kami rakit sekian lama.

Kini, aku tak pernah mengharap uang itu kembali. Allah sudah mengembalikannya dengan jauh lebih banyak. Meski begitu, statusku adalah hamba yang terdzolimi. Aku bermunajat pada allah agar mengampuni dan membukakan hati Agus seperti masa lalu. Aku yakin, dia tak sejahat itu. Mungkin dia dalam kesulitan juga atau takut. Wallahu a’lam.

Ramadhan berlalu, pagi ini tepat 1 Dulhijjah. Dalam breafing pagi di kantor, dilantunkan “Labbaika allahumma labbaik …”. Seorang memimpin, yang lain menirukan. Nada-nada syahdu dilantunkan. Sebagian menitikkan air mata, termasuk aku. Betapa inginnya, kami segera menyusul. Ya allah, panggillah hamba ke sana secepatnya. Aku sadar panggilan haji kami masih lima atau enam tahun lagi. Ya allah, hamba ingin segera ke baitullah, perkenankanlah ya allah.

Dua bulan berikutnya, Andre adikku yang ada di Jakarta ibadah umroh. Sepulang dari umroh, dia mengirimkan foto-fotonya saat di baitullah. Saat ini, aku di masjid siap mendengarka khutbah Jumat. Spontan aku meneteskan air mata, Ya allah, perkenankan hamba ke rumah-Mu segera ya allah. Sungguh  Engkau maha mendengar, dengarkan ratap hamba. Iqomah pun berkumandan, aku turut jamaah shalat Jumat. Dalam sujud, aku meeteskan air mata mengharap panggilan ke baitullah.

Hari berganti  hari. Senin pun mengawali segala aktivitas. Siang hari, setelah makan siang. Bu Kiki mendekat.

“Bu, kita dipanggil kepala sekolah”

“O iya. Makasih. Sama kamu?”

“Ya, sama Bu Enny juga”

“Ayook”

Aku bangkit dan berjalan menuju ruang kepala sekolah. Ternyata, di sana ada Mbak Tiwi dan Pak Habib, mereka CS di sekolah. Satu demi satu datang hingga genap 9 orang plus kepala sekolah.

“Silakan duduk” kata Pak Ahmad, sang Kasek.

Kami pun duduk melingkar, menyimak kata demi kata. Kepala sekolah menyampaikan kata demi kata secara perlahan. Sepertinya beliau merasa ada sesuatu yang besar dan penting untuk disampaikan. Satu persatu dari kami dipandanginya tanpa senyum sedikit pun. Kami pun bertanya-tanya dalam hati masing-masing, kesalahan apa yang terjadi hingga kami dipanggil. Perasaan, aku, Bu Kiki, dan Bu Enny berhasil buat prestasi melalui karya kami buat buku. Tapi mengapa tegang seperti ini.

“Saya mendapatkan amanah dari ketua yayasan…..” kata Pak Ahmad. Kalimat itu tidak dilanjutkan. Wajahnya merah. Matanya berkaca-kaca. Bulu matanya agak basah. Kami semua memandang beliau dan bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi. Suasana hening, amat hening.

“Saya mengajukan beberapa nama. Tapi saya diminta menyetorkan beberapa nama. Maka tanpa pilih kasih, nama-nama yang keluar itu adalah kehendak allah. Dan nama itu adalah Bu Ashima…, Bu Kiki…, Bu Enny…, Mbak Tiwi…, Pak Habib…, Pak Emil…, Bu Mega…, Bu Nina…, dan Bu Tanty…, anda mendapat apresiasi berupa umroh dari hamba allah tahun ini, gratis”

Sontak, saya menarik tisu yang ada di depan untuk menahan air mata.

Ya allah. Subhanallah. Terima kasih, ya allah ,,,, huk huk huk” suara Pak Habib sambil sesenggukan.

“Subhanallah” seru mbak Tiwi sambil mengusap air mata.

Suara sesenggukan mengisi keheningan. Tak ada kata-kata. Yang ada hanya tangis haru.

“Terima kasih, Pak” sambungku dengan sesenggukan pula. Satu persatu juga menyampaikan rasa terima kasinya.

“Yang memanggil kita ke baitullah itu bukan uang, bukan pangkat, bukan pula kepintan, melainkan allah sendiri” sambung kepala sekolah. 

Kami kembali ke ruang masing dan ingin pulang secepatnya untuk menyampaikan kabar bahagia ini. Hujan turun. Itu tak menyurutkan semangatku untuk segera sampai di rumah, sebab aku bawa Yaris. Selama perjananan aku menyimpulkan bahwa dengan modal sabar, aku dapatkan segalanya. Semoga berkah. Amiin.

* Sumber gambar: Fuad Akhsan