Pagi ini hari Sabtu, Imash bisa berangkat santai. Ini
nampak pada raut wajahnya. Senyum yang memahat wajahnya dan balutan kain motif
bunga warna merah fanta membuat dia tampak segar, lain dari hari-hari biasa. Imash
memundurkan motor dari lorong parkiran menuju jalan raya.
“Berangkat, Im?” sapaku.
“Iya, yuuk duluan” sahutnya sambil meng-on-kan mesin motor. Tak berapa lama
kemudian, ia pun melaju menuju tempat kerjanya. Sesantai apa, Imash tak mungkin
berkendara di bawah standar. Apalagi jalan raya sudah mulai ramai. Mungkin
sudah bawaan, ia tak suka berlama-lama di jalan, maunya segera sampai tempat
tujuan. Semakin ke arah kota ternyata jalan raya semakin padat. Imash pun
semakin menambah kecepatan. Sesampai di traffic light, ia menarik rem tangan
kanan kiri ssssttt, tepat dan lurus posisi motor dengan seorang penggendara
yang sepertinya membuntutinya. Dia seorang lelaki yang belum pernah dia kenal.
Kelihatan lucu, seperti dua pembalap yang sampai pada
garis finish dalam waktu bersamaan. Imash menarik nafas dan tatapan mata lurus menatap
lampu merah yang menyala di atas lampu warna kuning-hijau yang berdiri tepat di
seberang jalan.
“Ehemm ehemmm. Terburu-buru ya?”
tanya Lelaki misteri. Tampilannya keren, fashionable.
Dengan helm model anak masa kini, jaket coklat, celana hitam, dan berkacamata
coklat, serta motor MAX . Imash hanya senyum dan mengangguk halus. Perasaan
sedikit GR. Sambil melirik ke kanan perlahan, hatinya berkata-kata, apakah ada
yang aneh dengan penampilanku. Atau ada yang salah denganku hingga orang ini
buntuti aku untuk sekadar say hello
padaku? Astaghfirullah, pasti dia orang bai-baik.
“Kerja di mana, Mbak?” tanyanya.
“Di Surabaya” jawab Imash pelan. Lampu hijau pun mulai
menyala.
“Hati-hati, Mbak”
“Makasih”
Imash segera menarik gas motor untuk segera melaju.
Sepanjang perjalanan menuju tempat kerja, pikiran Imas masih terbalut kenangan
sesaat tadi. Kenangan akan kejadian itu telah menggerus rasa lelah bermotor dan
bangkitkan semangat.
“Sela, tunggu”. Imash memarkir motornya dan bergegas
mengejar Sela. Sambil berjalan, dia menceritakan apa yang baru saja terjadi.
“Apa kamu kenal, Sel?”
“Mana aku tahu. Lihat aja nggak, dengar suaranya juga
nggak. Ya,,,, kamu gak usah GR gitu lah. Itu mah biasa aja” jawab Sela.
“Iya sih. Btw, kamu mau renang atau badminton, Sel?”
tanya Imash.
“Renang” jawab Sela.
“Sip. Aku juga”
Semua rencana semalam terlaksana, mulai dari
menyalurkan hobbi renangnya, juga main game online. Di tengah-tengan permainan,
telepon WA berdering. Wow,, wajah Ippo nampak di layar.
“Assalamualaikum. Mbak Imash sibuk?”
“Ohh, tidak, Cuma main game aja”
“Mbak, masih ingat teman kita, Onik? Yang pinter
ngelukis” tanya Ippo sambil menginat-ingatkan kenangan masa SMP dulu.
“O .... aku tahu. Dia yang ngelukis dua orang trus di
bawahnya ditulis namaku dan dan Hanan, ya?”
“Tepat” tegas Ippo.
“Emmmm, brarti kamu Ippo yang dulu. Kamu dulu kecil,
maaf kerdil dikit. Sekarang koq tinggi dan sehat banget. Maaf, nggak salah kan
kalau harus hati-hati”.
“Alhamdulillah” jawab Ippo dengan senang karena
berhasil memastikan bahwa dia teman sekolahnya waktu SMP dulu.
“O iya, kamu habis ketemu Onik kah?” tanya Imash.
“Onik, teman kita lagi kesusahan. Suaminya berpulang
ke rahmatullah. Beliau terkena kanker kelenjar getah bening”
“Innalillahi
wainna ilaihi roojiuun. Emang kamu tahu dari mana?”
“Dia tinggal tak jauh dari rumah ibuku”
Minggu siangnya, Imash datang ke rumah duka. Aku
menemaninya. Tanpa diduga, di sana banyak teman-teman SMP. Ippo duduk
bersebelahan dan berbincang sedikit serius. Perbincangan itu akhirnya meluas ke
teman-teman lainnya. Mereka berencana untuk menyatukan kembali pertemanan yang
terjalin di 20 tahun yang lalu. Mereka menunjuk dan menyerahkan rencana ini
kepada Ippo dan Imash karena mereka berdua pionirnya.
Berbekal nomor WA, grup pun terjalin. Ada satu nomor
yang menarik bagi Imash. Nomor ini konon, pemiliknya tidak ikut hadir kemarin alasannya sibuk. Konon,
dia adalah pemilik sebuah besar di Surabaya. Uyung panggilannya. Uyung telah
menyelesaikan pendidikannya di Gontor dan lanjut ke Mesir. Tidaklah berlebihan
jika dia jadi bos besar.
Keesokan harinya, rasa ingin tahu mendalangi Imash
untuk menyamar sebagai jamaah travelnya.
“Assalamualaikum, Ustaz?”
“Waalaikumussalam. Dengan siapa ya saya bicara? Ada
yang bisa saya bantu” jawab Uyung. Woow... benar. Ini Uyung. Imash membayangkan
wajahnya. Subhanallah, benar-benar Uyung jadi orang besar. Gaya bicaranya
sungguh berwibawa dan memesona.
“Maaf Ustaz. Saya anggota jamaah njenengan. Mau
konfirmasi tentang keberangkatan saya” Itu kalimat sandiwara Imash untuk
memastikan apa benar kalau nomor yang dituju adalah Uyung alias Nurul Huda.
“Baik Ibu, boleh saya tahu nama lengkap Ibu?” lanjut
Uyung. Sepertinya flat-flat saja, tidak seperti yang Imash mau.
“Saya Raimash Shafia dari Surabaya barat, Ust” jawa
Imash
“Ibu Raimash Shafia dari Surabaya barat” tanya ulang
Uyung.
“Ini saya bicara sama Ustaz Nurul Huda dari Gontor,
ya? Uyung, panggilannya?” sambung Imash.
“Yup. Ini siapa ya?”
“Aku Imash.... Raimash Shafia, anak kelas C di SMP X”
“Imash.... Subhanallah, Imash... Imash murid sing
pendiam, pinter, terus mata e sipit? Hey,,,, piye kabare?” sahut Uyung sambil
bercanda.
Imash dan Uyung ngobrol di telepon WA cukup lama. Itupun
berakhir karena suara azan Dhuhur tiba.
Soon
Episode 3